Pemimpin
Merupakan Pancasila
JAKARTA, KOMPAS.com — Nilai-nilai keutamaan
yang dikandung Pancasila tidak lagi menjadi acuan para elite politik. Pancasila
sekadar tercantum dalam anggaran dasar/anggaran rumah tangga. Para elite malah
terjebak dalam pragmatisme dan transaksionalisme.
Keprihatinan tersebut diungkapkan, secara terpisah,
oleh Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi
Waligereja Indonesia Benny Susetyo Pr serta Pengasuh Pondok Pesantren Al Mizani
Majalengka KH Maman Imanulhaq, Kamis (31/5/2012).
Pembiaran atas tindakan kelompok intoleran yang
mencederai kehidupan beragama, menurut Maman, menunjukkan runtuhnya kehidupan
bangsa yang berdasarkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Sikap dan perilaku
para elite politik pun terjebak dalam pragmatisme dan transaksionalisme. Hal
ini terbukti dengan semakin panjangnya daftar koruptor dan kasus korupsi di
lingkaran kekuasaan.
”Pancasila diabaikan. Negara tidak mempunyai acuan
filosofis kebangsaan dan kenegaraan. NKRI dikepung perilaku elite dan ideologi
asing,” kata Maman di Jakarta.
Benny sepakat, para elite malah mencari ideologi
lain, seperti pragmatisme dan transinternasional, untuk mengganti Pancasila.
Nilai-nilai Pancasila malah tidak mendasari kebijakan publik dalam mengolah
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Akibatnya, bangsa ini selalu mencari identitas diri.
Banyak energi terbuang percuma hanya untuk berdebat soal ideologi. Semestinya
energi lebih digunakan untuk membangun bangsa menjadi bangsa yang sejahtera dan
berkeadilan.
”Pancasila belum sungguh-sungguh menjadi pedoman
kehidupan bangsa ini. Sepanjang Orde Baru, Pancasila pernah diperalat untuk
melanggengkan kekuasaan,” kata Benny dalam seminar ”Mari Bersatu dan Bersaudara
di Bawah Panji Pancasila” di Ende, Nusa Tenggara Timur, Kamis.
Pada era Reformasi, katanya, nilai-nilai dari lima
sila itu diabaikan dan dilalaikan dalam semua perikehidupan kita. Pancasila
belum mewujud dalam nilai-nilai etis para penyelenggara negara dan elite bangsa
ini.
”Praktik korupsi dan penindasan justru semakin
menjadi-jadi. Para elite menjadi buas, rakus, dan tamak.
Dalam praktik
keagamaan, kerukunan bukan menjadi inti kehidupan bersama-sama,” katanya.
Hal senada dikatakan Ketua Umum Pengurus Pusat
Gerakan Pemuda Ansor Nusron Wahid di sela-sela seminar tersebut. Dia
mengatakan, kini bermunculan kelompok keagamaan yang memaksakan tafsir dari
sudut pandang sempit. Sejumlah kelompok menginginkan tafsir ketuhanan dalam
sila pertama untuk agama tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar